Tak sekedar berguna untuk pengobatan, jamu godhong merupakan bisnis yang menjanjikan.
Sebuah kedai di kaki Gunung Merapi khusus menyediakan jamu godhog. Hangat di badan, serta baik untuk kesehatan.
Sebagian dari anda mungkin sudah tidak asing mendengar nama jamu godhog. Hampir di setiap sudut kota Jogja, kita akan dengan mudah menjumpai warung-warung kecil yang menyediakan jamu dalam kemasan buatan pabrik maupun jamu hasil rebusan langsung atau di-godhog. Sebagian dari para penikmat jamu godhog mengatakan paling sedap jika dicampur dengan telur ayam kampung.
Secara penyajian mungkin tidak ada perbedaan yang jauh antara warung yang satu dengan yang lainnya. Namun ada yang menarik dengan salah satu depot jamu milik Sidik Raharjo, salah satu pelaku bisnis jamu. Nuansa pedesaan yang masih kental akan anda jumpai di saat mengunjungi warung yang terletak di Dusun Sidorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman ini. Depot sederhana yang berdindingkan gedheg ini juga dikelilingi oleh areal persawahan meskipun jaraknya dengan jalan utama tidaklah jauh.
Di kiri maupun kanan depot kita akan menjumpai areal pembibitan tanaman obat. Tanaman-tanaman tersebut ditanam di dalam pot-pot berwarna hitam dan disusun secara rapi berdasarkan jenisnya. Menurut Sunaryo, salah seorang karyawan yang mengurus usaha pembibitan, di areal tersebut terdapat 211 jenis bibit tanaman obat. Tanaman obat tersebut terbagi kedalam tiga kategori, yakni batang seperti brotowali, pule, kayu secang lalu jenis akar-akaran seperti som jawa, som Australia serta biji-bijian seperti temukur, lada hitam dan barbagai jenis lainnya.
“Untuk disini bibit yang agak mahal adalah sereh merah dikarenakan langka. Jenis tanaman ini juga berkhasiat untuk mengobati kanker payudara”, ujar pria yang sedari kecil akrab dengan usaha tanaman.
Bagi anda yang gemar ataupun tertarik untuk memelihara tanaman obat, pun dipersilahkan untuk membelinya. Menurut Sidik biasanya yang datang untuk membeli bibit tanaman obat dari kalangan ibu-ibu PKK bahkan para mahasiswa yang kebetulan pada saat itu sedang KKL. Namun tak jarang pula perseorangan yang datang.
“Bibit tanaman obat yang paling banyak dibeli oleh pengunjung antara lain mahkota dewa, kumis kucing, sambiroto. Sambiroto sendiri berguna untuk pemecah sel kanker. Kumis kucing selain berguna untuk pelancar air seni atau kencing manis juga berkhasiat untuk diabetes. Untuk mahkota dewa berkhasiat untuk kannker dan darah tinggi”, ujar Sunaryo menambahkan.
Udara sejuk khas Kaliurang disertai nikmatnya jamu yang disajikan tentu semakin membuat nyaman. Semua kepenatan setelah sekian lama beraktivitas di kota seketika hilang. “Memang untuk di Siderojo kita rancang sebagai tempat pembibitan sekaligus tempat untuk berwisata. Karena udara yang dingin, orang datang minum jamu untuk menghangatkan badan”, ujar pria lulusan Universitas Lampung ini.
Salah satu pengunjung setia depot ini adalah Rino Wahyu Pangestu, murid SD Pakem 4. Saat ditemui di depot penjualan jamu Kaliurang, ia sedang minum jamu gemuk dan sehat ditemani neneknya, Sumaryati. “Rino itu dulu makannya susah tapi setelah terbiasa minum jamu, selera makannya mulai naik. Badannya saja sampai padat gitu”, ujar Sumaryati.
Rino mengatakan minum jamu memang telah menjadi kebiasaan keluarganya. Kedua orang tuanya biasa minum jamu sehat wanita dan sehat pria sedangkan kakaknya seringkali minum jamu beras kencur. “Ya kami memang keluarga jamu, turun-temurun dari anak sampai cucu. Kalau sakit, juga jarang ke dokter. Biasanya cuma pijat dan minum jamu setelahnya langsung sembuh, di badan juga rasanya enteng”, ujar Sumaryati.
Kesukaan akan jamu godhog juga dikatakan oleh Sunaryono. Sebelum bekerja di depot penjualan jamu sekaligus tempat wisata herbal ini, ia mengaku jarang sekali minum jamu. “Sekarang setiap hari saya minum jamu pegel linu dan sehat pria. Kalau jamu pegel linu diminum malam, besok pagi bangun sudah segar lagi. Hal ini karena dalam jamu pegal linu ada lenglengan untuk mudah tidur atau penenang dan sambiroto untuk penghilang rasa sakit”, ujar pria asal Yogyakarta ini.
Sidik juga mengatakan bahwa sampai saat ini telah ada 19 depot penjualan jamu baik di dalam kota maupun diluar kota seperti Sragen dan Ngawi. Tak tanggung-tanggung depot atau warung jamu miliknya kini telah tersebar bahkan sampai Bali dan Jakarta. Sedangkan di Mirota Batik, ia hanya menyediakan jamu berupa ekstrak, yakni yang berupa serbuk.
Usaha yang dirintis sejak tahun 1997 oleh pria yang akrab disapa Sidik ini ternyata tidak hanya melayani penjualan jamu dan pembibitan saja. Dibawah nama perusahaan Merapi Farma, ia pun menjalankan usaha pembudidayaan serta pengolahan bahan-bahan jamu atau pabrikasi. Usaha budidaya tidak dilakukannya sendiri, ia juga bekerja sama dengan sebuah kelompok tani yang terdiri dari 40 petani di Kecamatan Kaliangkring Magelang.
“Selain Magelang, usaha budidaya juga dibantu oleh seorang pengusaha di Bantul yang memiliki lahan. Dari Tawangmangu misalnya kita mendapat persediaan tanaman kumis kucing”, ujarnya seraya menambahkan.
Pembibitan tanaman obat tidak harus ditanam di dataran tinggi. Bibitnya bergantung pada kandungan aktif yang tersedia di tanah.
Dalam hal penanaman ternyata tidak semua tanaman obat untuk bahan jamu perlu untuk ditanam di daerah dataran tinggi yang dipandang jauh lebih subur. Menurut Sidik, tanaman obat-obatan itu tidak bergantung pada kesuburan tanah namun pada kandungan aktif yang tersedia di tanah. Ada tanaman yang jika semakin stress justru daya immune-nya semakin banyak. Baginya cukup relatif, belum tentu tanaman yang subur berkhasiat untuk obat namun belum tentu pula tanaman yang kurus tidak berkhasiat untuk obat.
Saat ditemui di kantor pemasaran yang terletak di Jalan Palagan Tentara Pelajar km. 8.8, Sidik mengatakan bahwa ada 19 jenis jamu godhog. Jamu-jamu tersebut tak kalah khasiatnya dengan obat-obat kimia yang dijual di apotek-apotek. Bahkan dengan harga yang jauh lebih murah penyakit seperti asma, kencing manis, asam urat, pegel linu dan lain sebagainya dapat diatasi. Untuk mereka yang hendak menambah vitalitas juga tersedia jamu godhog sehat wanita dan sehat pria.
“Bagi mereka yang memiliki penyakit berat seperti kanker rahim, kanker payudara, sudah berobat ke dokter ataupun pengobatan alternatif namun menghendaki pula penyembuhan lewat jaum, kami akan membuatkan racikannya”, ujar Sidik, pria keturunan Purworejo dan Blitar.
Di depot-depot miliknya tersebut juga menyediakan jamu berupa serbuk atau yang telah disarikan. Contohnya saja kunir asam, beras kencur, jahe wangi dan lain sebagainya. “ Sebenarnya saya melihat bahwa masih banyak yang kangen dengan model godhogan namun ada juga yang suka dengan model serbuk atau yang sudah disarikan. Kalo itu tergantung pada bagaimana kita melihat konsumen”.
Namun Sidik mengakui bahwa dilihat dari proses, model godhog merupakan cara yang paling sederhana. “Ya menurut keyakinan saya serta hasil referensi-referensi penelitian mengenai tanaman obat, cara godhog memang yang paling tidak banyak kehilangan sarinya”. Baginya kebanyakan orang tidaklah mempersoalkan hal itu karena konsumsi akan jamu dilakukan sesuai dengan selera.
Sidik mengatakan bahwa ada pandangan yang keliru selama ini di masyarakat bahwa jamu merupakan pengobatan tanpa efek samping. Jika dalam penggunaannya ada dosis yang salah atau resepan yang salah maka akan menimbulkan dampak. Misalnya saja jika mengkonsumsi dalam dosis yang berlebihan maka akan menimbulkan efek samping seperti pusing, muntah-muntah, jantung berdebar-debar dan lainnya. Dalam penggunaan jangka panjang akan mengakibatkan kerusakan ginjal maupun hati.
Ternyata tak hanya persoalan dosis, kesalahan dalam panen misalnya ada tanaman obat-obatan yang terkena jamur atau bakteri pun justru membahayakan kesehatan. “Bagi saya segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan itu tetap ada positif maupun negatifnya. Namun jika hendak dibandingkan dengan obat-obatan kimia, resiko dalam mengkonsumsi jamu jauh lebih kecil. Ya kalau mau dibandingkan sekitar 1 banding 100”, ujar Sidik.
Disaat ditanya apa kendala dalam menjalankan usaha pembibitan dan penjualan jamu ini Sidik mengatakan bahwa selama ini di Indonesia belum ada lembaga yang fokus pada tanaman Indonesia. Baik Departemen Pertanian maupun Departemen Kesehatan masih terpecah-pecah sehingga pelaku usaha seperti dirinya sulit untuk memutuskan siapa yang dapat dijadikan referensi atau pegangan sebagai panduan.
Selain itu ia juga sangat menyayangkan sedikitnya sumber daya manusia yang mau terjun kedalam usaha obat-obatan tradisional. “Kebanyakan sudah pada sepuh-sepuh. Padahal usaha ini cukup menjanjikan. Setiap bulan omset penjualan tanaman obat bisa mencapai 10 juta sedangkan bahan jamunya sendiri dapat mencapai 500 juta”.[]
Sumber: https://inaflorencys.wordpress.com/2012/05/13/jamu-godhog/
(Terbit di Tabloid PASTI UAJY – 2007)